Faiza Mardzoeki

Suara Lirih Perempuan Penyintas

20140317_majalahdetik_120_102-copyEyang Nini menganggap sekaranglah saat yang tepat membuka rahasianya ke Ming, disaksikan teman-temannya yang sudah dari dulu tahu dan sama-sama menjaganya.

Oleh Silvia Galikano

Sebentar lagi teman-teman Eyang Nini datang. Mereka sudah pada sepuh, berusia 70-an dan 80-an, tapi masih kuat menempuh perjalanan jauh. Bahkan ada yang akan datang dari luar kota, menumpang bus umum.

Ming ( Heliana Sinaga) merapikan rumah dan menyiapkan suguhan untuk tamu. Di rumah tinggal nenek dan satu cucunya. Hidup keduanya bukanlah hidup yang mulus-mulus saja. Manalah ada hidup yang mulus bagi penyandang status eks tapol? Pun keluarganya yang tidak tahu apa-apa.

Eyang Nini (Pipien Putri) di masa muda adalah aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, yang karib dengan PKI). Darsana, suaminya, aktivis Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra, lembaga kebudayaan sayap kiri).

Ketika Nini akhirnya hamil setelah bertahun-tahun menikah, Bung Dar, demikian Nini memanggil suaminya, memberi nama calon anak mereka Rahmanina. Sejak awal Bung Dar sudah yakin anak mereka perempuan, jadi dia hanya menyiapkan satu nama itu.

Nama Rahmanina terinspirasi dari Rachmaninoff, komposer klasik asal Soviet, negara yang jadi sahabat Indonesia pada 1950-an dan 1960-an. Bung Dar suka sekali memainkan komposisi-komposisi Racmaninoff di atas pianonya.

Lalu pecah peristiwa 30 September 1965. Saat itu Nini sedang hamil 3 bulan. Bung Dar, Nini, dan semua yang terlibat dalam organisasi yang berhubungan dengan PKI, ditangkapi. Nini tidak tahu Bung Dar dibawa ke mana atau bagaimana nasibnya. Mungkin sudah ditembak mati seperti ratusan ribu lainnya. Yang jelas, keduanya tidak pernah bertemu lagi.

Nini dibawa ke penjara Bukitduri, Jakarta, lalu dipindah-pindah hingga akhirnya ke penjara Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Siksaan fisik dan mental tak terkatakan lagi yang dia terima.

Dipukuli, disetrum, disuruh telanjang bulat di lapangan di depan para tahanan dan di depan sipir dengan caci maki yang menghinakan.

Nini melahirkan di dalam penjara. Sesuai amanah Bung Dar, dia beri nama bayi itu Rahmanina. Bayi itu segera diambil saudara jauh Nini dengan alasan “agar terputus dari nasib buruk yang dialami ibunya.”

Namun nasib buruk tak enggan pergi dari keluarga Nini. Suami Nina, yang akhirnya tahu bahwa ibu kandung istrinya seorang tahanan politik, pergi begitu saja. Nina mati muda akibat depresi, meninggalkan seorang balita bernama Ming.

Reuni kecil hari ini akhirnya berjalan lancar. Eyang Makmin (Irawita) datang. Juga Eyang Tarwih (Ani Surestu), Eyang Sumilah (Ruth Marini), dan yang selalu telat, Eyang Sulahana (Niniek L. Karim).

Eyang-eyang itu bergantian cerita pengalaman mereka ketika sama-sama di Plantungan. Bercerita ke satu sama lain, bercerita juga ke Ming. Namun sepanjang temu kangen berlangsung, Eyang Nini tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya.

Ada sebuah rahasia besar yang selama ini dia sembunyikan dari Ming. Nini menganggap sekaranglah saat yang tepat membukanya ke Ming, disaksikan teman-temannya yang sudah dari dulu tahu dan sama-sama menjaganya.

Rahasia itu adalah Eyang Nini punya anak lain selain Rahmanina yang juga lahir di penjara. Anak itu laki-laki. Berawal dari kewajiban mengurus dapur rumah seorang perwira tentara di Plantungan.

Suatu pagi buta, belum juga subuh, perwira itu meminta Nini yang baru selesai mencuci beras, untuk merapikan kamar tidur si perwira. Nini didorong ke atas tempat tidur disertai ancaman-ancaman. Kejadian ini berulang lagi di hari-hari berikutnya hingga Nini hamil.

Usai melahirkan, Nini menyerahkan bayinya ke seorang penduduk di dekat penjara. Kali ini dengan sukarela, tidak seperti dulu dia terpaksa menyerahkan Nina ketika diminta saudara jauhnya.

“Apa saya salah ya, Jeng?” suara Nini bergetar.

“Tidak, tidak, tidak salah,” kawan-kawannya menjawab.

Cerita itu adalah kisah nyata para eyang yang ditangkapi usai tragedi 30 September 1965. Institut Ungu mengangkatnya ke panggung GoetheHaus Jakarta, 7 dan 8 Maret 2014 untuk memperingati Hari Perempuan Internasional, 8 Maret. Faiza Mardzoeki jadi sutradara, produser, sekaligus penulis ceritanya.

Pementasan yang sesak emosi, terlebih di sepertiga terakhir, menyodorkan sebuah sudut yang-dianggap-kecil untuk meneropong peristiwa G30S. Sudut perempuan yang dibungkam dan dirampas hak kemanusiaannya, seakan hanya seonggok daging yang tidak dilihat sepenuh pandang dan hanya diajak bicara oleh moncong bedil.

Walau begitu, bukan pesan kebencian yang disampaikan. Para eyang ini, seperti disampaikan Eyang Nini, sedang menebar pelajaran, jauh melampau dari sekadar melemparkan dendam, “Tersenyumlah, senyumlah pada kehidupan.”

Marcello Pellitteri, musisi yang berbasis di New York, menata musiknya dengan apik sekaligus menciptakan ruang reflektif. Selain komposisi-komposisi indah Rachmaninoff,Genjer-genjer yang merupakan lagu pop masa itu, penonton disuguhi Salam Harapan yang lagunya diciptakan ibu Nungtjik dan liriknya oleh ibu Murtiningrum. Dua perempuan itu menciptakan Salam Harapan di dalam penjara Bukitduri. Lagu ini kemudian kerap dinyanyikan Paduan Suara Dialita, paduan suara beranggotakan korban ’65 dan keluarganya.

Berawal dari penelitian yang dilakukan Faiza dan tim selama hampir dua tahun. Mereka mewawancarai para perempuan penyintas tahanan politik ’65 di Yogyakarta, Solo, Sragen, Semarang, Jakarta, serta beberapa eksil Swedia dan Belanda, hingga mengunjungi lokasi yang dulu dipakai sebagai tempat isolasi para tahanan perempuan, Plantungan.

Selain wawancara, tim membaca berbagai literatur sejarah dan mengadakan diskusi dengan berbagai kalangan. Baru pada Januari 2013 naskah selesai.

Seperti ditulis Faiza dalam pengantar acara, Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjerdidedikasikan kepada para perempuan yang pernah jadi tahanan politik ’65 dan korban kekerasan seksual di Indonesia dan di seluruh dunia. Masa lalu mereka adalah bagian dari sejarah Indonesia yang ikut membentuk generasi sekarang, yaitu kita semua.

***

Dimuat di Majalah Detik edisi 120, 17-23 Maret 2014

sumber: http://silviagalikano.com/2014/04/17/suara-lirih-perempuan-penyintas/