Faiza Mardzoeki

6 Film Reviews-old articles: Jane Austen, Vera Drake, Mooladee, ect

Pandaemonium
Romantisme penyair pemberontak

Faiza Mardzoeki

Apakah jadinya jika seorang seniman film memvisualkan puisi-puisi imajinatif romantik abad 18, dari Samuel Taylor Coleridge?

Bagi yang pernah belajar sastra Inggris atau yang menggemari pusi-pusi klasik, rasanya sulit melewatkan puisi-pusi karya Coleridge, seperti The rime of the Ancient Mariner atau Kubla Khan. Julien Temple, sutradara asal Ingris yang mengawali karir filmnya dengan membuat film dokumenter tentang Punk (Punk Can take It, 1979) di Inggris, dengan cukup baik -menghibur sekaligus imajinatif- membawa Coleridge ke dalam layar lebar, berjudul Pandaemonium.

Pandaemonium, adalah film biopic drama yang menyorot penggalan sejarah hidup dan proses kreatif kepenulisan puisi, Coleridge, yang kecanduan opium dan sedikit kisah sahabatnya, yang kemudian mengkhianatinya, William Wordsworth.

Pandaemonium ini scenarionya digarap oleh Frank Cottrell Boyce, mengedepankan plot cerita yang intriguing dan dramatic, melalui dua tokoh penyair yang bersejarah itu, Coleridge(dimainkan oleh Linus Roache) dan Wordsworth (oleh John Hannah). Spirit film ini sangat berjiwa muda, penuh passion dan rebelian dengan struktur flashback ( tahun 1816 kembali ke 1795) yang cukup artistik dan imajinatif.

Shot-shot yang diambil dari panggung orasi politik, pembacaan-pembacaan puisi, dan kejadian-kejadian chaotic lainnya. Coleridge dan istrinya, Sarah (Samantha Morthon), lari dari kota, menuju sebuah desa setelah kejadian kolapnya pemberontakan, anti perbudakan, dimana Coleridge aktif ambil bagian berorasi di panggung. Bisa dimengerti kenapa seorang penyair seperti Coleridge, turut ambil bagian dalam proses pergerakan saat itu. Semangat puisi jaman romatisme (1780-1830) ini adalah semangat yang diwarnai oleh semangat perubahan yaitu revolusi industri di Inggris yang membawa perubahan besar dalam masyarakat. Bersamaan dengan itu revolusi Perancis dan Perang kemerdekaan di Amerika terjadi. Latar belakang sejarah inilah yang membentuk Coleridge muda berjiwa romatik pemberontak. Ide-ide tentang harapan, ketakutan, tension merupakan emosi kompleks yang mewarnai pusi-pusi Coleridge. (Hampshire&Macmillan, 1988)

Di desa mereka kedatangan sahabatnya, yang juga seorang penyair, Wordsworth dan adik perempuannya, Dorothy (Emily Woof). Mereka menjalani sebuah kehidupan penyair, bohemian dan utophis. Mimpi tentang dunia yang damai, sambil menulis puisi dan terkenal. Pada saat itu penyair adalah “bintang pujaan” yang digandrungi dari kalangan bangsawan sampai masyarakat biasa. Terutama Wordsworth yang begitu snobbish, gandrung akan kepopulerannnya, meskipun puisi-pusinya tidak sehebat Coleridge. Berbeda dengan Coleridge yang berjiwa spontan, apa adanya dan penuh passion. Sementara, Dorothy, secara jiwa kepenyairaanya lebih nyambung ke dalam imajinasi dan kreativitas syair-syair Coleridge ketimbang, terhadap puisi-puisi kakaknya, Wordsworth itu. Di sana kecemburuan diam-diam dari diri Wordsworth kepada Coleridge.

Selain itu yang menonjol dalam roh Pandaemonium ini adalah opium yang membuat kecanduan, sang penyair Coleridge.

Isu gender disentil sedikit oleh Temple. Ketika Colerigde dan istrinya, Sarah merencanakan pindah ke desa. Sarah diposisikan sebagai istri “tradisional” yang sama sekali tidak “mengerti” dunia kepenyairan suaminya dan hanya memikirkan anak dan keluarganya.

Cinematrografi dalam Pendaemonium ini sangat puitik. Visualilisasi bagaimana opium yang men-drive Colerigde, embun yang menempel bergerak perlahan di jendela di tengah malam hari, di mana Coleridge saat mengendong anaknya sambil melantunkan syair, gelas berisi anggur yang tumpah saat Coleridge mabuk oleh opium, bergerak dan berbicara dengan slow motion yang cukup puitik. Jadilah visual image yang cukup dramatik sekaligus puitik yang getir.

Coleridge, menjadi kecanduan opium, terutama saat-saat menulis puisinya. Digambarkan bagaimana ia seperti “kesurupan” ketika ide datang menghentak jiwanya. Bahkan seperti sebuah halusinasi yang meledak-ledak dan mengintai jiwanya, hingga akhirnya harus ditumpahkan melalui tintanya ke atas kertas.

Lirik balada, The Rime of the Ancient Mariner dan Kubla Khan, adalah puncak kepenyairan Coleridge yang divisualkan Temple, bagaimana proses kepenulisannya dan bagaimana imajinasi Coleridge bermain. Coliredge pergi bersama Wordworth ke sembuah kampung nelayan dan bertemu dengan seorang pelaut tua yang bercerita tentang rasa bersalahnya. Di adegan ini warna gelap yang misterius sangat kuat. Seolah mau menggambarkan batin si pelaut tua yang penuh agony. dan jiwa menggelegak sang penyair. Imaginasi Colerigde dalam lirik-lirik The Rime of the Ancient Mariner muncul begitu kuat. Burung albatross yang menembus lautan gelap, mampu membuat begidik bulu roma. Albatross adalah burung yang mensimbolkan alam ciptaan Tuhan dan simbolisasi dari manusia yang menanggung beban dosa.

The Rime of the Ancient Mariner adalah lirik balada yang mengisahkan seorang pelaut yang membunuh burung albatross. Kemudian dihukum oleh alam, oleh Tuhan, dengan seluruh crew kapalnya mati, sementara sang pelaut sendirian hidup menanggung rasa bersalah, hingga ia harus berkeliling dunia mengabarkan kepada umat manusia. Isu moralitas, kepercayaan dan symbol-simbol alam cukup menonjol dalam puisi terpanjang Coleridge ini.

Sementara pada proses kepenulisan Kubla Khan, divisualkan dengan sangat berbeda dengan cerita tentang burung albatross itu. Kubla Khan, adalah lirik yang menceritakan sebuah negeri imajiner yang begitu indah, orang-orangnya penuh passion, dan yang memukau, di Xanadu.

Bagi Coleridge, alam adalah kegelapan dan kecahayaan yang tiada tara. Misterius. Malam dan siang. Ia menyimpan berjuta cerita. Inilah kekuatan Coleridge yang mampu menangkap alam, melalui imajinasi dan kepekaan dan kespontanannya Berbeda dengan Wordsworth yang melihat alam sebagai sesuatu yang indah banal tanpa mendalami jiwa alam itu sendiri. Bahkan Wordsworth terlalu menikmati dirinya sebagai penyair yang cenderung narsis.

Temple dengan cukup baik, mampu menvisualkan ide-ide puisi abad romantik. Meskipun secara umum ada sedikit kesan hiperbola, apabila kita mencermatinya lebih teliti. Tapi spririt film ini cukup menggairahkan. Sosok Coleridge cukup mengena, sebagai penyair pemberontak yang romantik. Pandaemonium cukup indah dinikmati dan tidak terlalu rumit, meskipun belum membaca pusinya Coliredge atau karya Wordsworth.

Film ini diproduksi oleh BBC tahun 2001, tapi entah kenapa baru diputar di bisokop Australia, Juli 2005.

Sydeny, Juli 2005.

——————

Film Dokumenter Indonesia

Geliat kreativ kritis yang minim ruang

Faiza Mardzoeki

Film dokumenter atau lazim disebut sebagai film non cerita atau film non fiksi adalah film yang menggambarkan suatu realitas dan analisis. Ia tidak hadir semata-mata dengan setumpuk obyek yang terekam tanpa suatu tujuan tertentu. Dari pengamatan penulis, sejak tahun 1998 film, tahun berakhirnya sang rezim, film dokumenter di Indonesia memulai geliatnya dengan ditandai antara lain: lahirnya kelompok-kelompok film (independen), semakin banyaknya karya film dokumenter, semakin beragamnya tema film dan semakin seringnya acara putar film serta diskusi film. Hal ini sangat terkait dengan dengan arus kebebasan pasca Soeharto, dan (secara kebetulan) munculnya technologi audio visual yang mudah dan murah.

Kreativitas masyarakat Indonesia umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik. Pada jaman Soeharto berkuasa, film dokumenter hanya menjadi medium propaganda satu arah dari rezim yang berkuasa. Pada masa ini produksi film dokumenter nyaris sepenuhnya dimonopoli oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Film-film buatan negara ini ditayangkan melalui program-program televisi yang pada waktu itu, hanya ada satu stasiun televisi milik pemerintah yaitu TVRI. Masih segar dalam ingatan penulis film dokumenter yang ditayangkan oleh TVRI selalu berisikan propaganda keberhasilan pembangunan, keakraban bapak pembangunan, Soeharto dengan rakyatnya misalnya program klompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, Pemirsa ) atau film tentang keindahan dan kekayaan alam Indonesia.

Baru mulai awal 1990 an selain film dokumenter produksi PPFN mulai muncul film yang dibuat oleh sineas muda dari Institut Kesenian Jakarta. Salah satu tonggaknya adalah film buatan Garin Nogroho berjudul, Air dan Romi ( tahun 1991), merupakan film bertema lingkungan sempat menang di Festival Film Lingkungan Hidup Internasional Okomedia di Freiburg, Jerman. Namun film yang sukses di festival ini tidak lantas sukses di Indonesia, bahkan nyaris tidak bisa disaksikan oleh masyarakat karena, karena tiadanya tempat putar untuk film kategori dokumenter.

Kemudian menyusul film-film dokumenter yang mulai ditayangkan di stasiun televisi swasta, yang mulai ada di tahun 1999, antara lain Anak Seribu Pulau buatan Garin Nugroho, Enison Sinarno, Srikaton, Robert Chappel, Gary Hayes serta Nan.T.Achnas. Anak Seribu pulau ini merupakan produksi bersama RCTI, SCTV, INDOSIAR, TPI dan ANTV dalam rangka peringatan 50 tahun Indonesia merdeka. Dari sini masyarakat luas mulai bisa menikmati film dokumenter melalui stasiun televisi swasta, meskipun masih terbatas.

Bisa dibilang, bahwa dua tahun setelah Soeharto jatuh, film dokumenter semakin meluas, kritis dan advokatif. Ada eforia dari berbagai kalangan untuk membuat film dokumenter. Lalu eforia berkarya semakin disambut dengan mulai semakin banyak program training membuat film untuk pemula. Geliat ini lanats semakin meluas ke kalangan masyarakat sipil lain, yaitu kelompok independen dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mulai menggunakan film sebagai medium advokasi. Situasi ini juga telah mendorong munculnya tema film yang cukup kritis yang bernuasa menggugat, dan mepertanyakan kembali berbagai peristiwa di masyarakat. Mari kita telusuri beberapa contoh film-film dokumenter ini:

Film berjudul “15 Tembok Kota” (Indonesia 2001, sutradara F. Tejobaskoro, produser Semar T. Doc, durasi 22 menit ) bicara soal Ruang publik saat ini yang telah kehilangan fungsi dan maknanya bagi publik itu sendiri. Banyak pihak yang berusaha mengkooptasi makna ruang publik sesuai dengan kepentingan meraka. Baliho, spanduk serta poster-poster telah memenuhi ruang publik kita dengan pesan dan propaganda bisnis. Singkatnya, ruang publik kini telah menjadi sebuah bisnis, sebuah etalase bagi produk-produk industri. Film ini diproduksi oleh Apotik Komik, sebuah komunitas seniman yang berada di kota Yogyakarta menggagas ide untuk berusaha mengembalikan makna dan fungsi ruang publik di Yogyakarta dengan proyek mural Sama-Sama.

Film lain berjudul “Our Journey” ( Indonesia 2003, sutradara Fatima Nona Astuti, Produser Cinema Society, Durasi 50 menit). Sutradaranya mengaku bahwa film ini dibuat dalam rangka melakukan penguatan sekaligus kampanye bagi para korban. Sang sutradara menambahkan bahwa dalam proses pembuatan film ini seminim mungkin ia intervensi.. Film ini mencoba melihat lebih dekat rasa dan asa yang dimiliki mereka (korban yang menjadi subyek dalam film ini) sebagai bagian dari perjalanan hidup mereka. Dengan gaya testimony, film ini menampilkan para korban kerusuhan 1998 dan mengajak serta para subyek dalam film ini untuk hadir dalam acara putar perdana filmnya. Bahkan salah satu subyek kemudian diajak dalam forum diskusi yang membahas film tersebut.

Fenomena berkembangnya film-film kiritis tidak lepas peran dari masyarakat sipil yang mengelompokkan diri ke dalam komunitas independen maupun kelompok LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Kelompok indenpenden ini biasanya mempunyai cukup banyak ide, kemauan kerja keras dan kritis tapi tidak punya modal dan banyak diantara mereka berangkat dari dunia aktivis. Sebagai contoh Lexy Junior Rambedetta, Daniel Indra Kusuma dan Gadis Arivia. Film berjudul “Saya rasa itu sulit dihilangkan, sulit dihilangkan” (th 2003), versi pendek dari Kado Buat Rakyat merupakan film dokumenter dengan menggunakan tehnik wawancara dari berbagai sumber. Antara lain Sulami, tokoh gerwani yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh Orde Baru, Arief Budiman, aktivis angkatan 66, serta beberapa tokoh lain seperti Rahman Toleng, Film yang digarap Daniel ini mencoba membongkar sejarah kelam Indonesia. Daniel mencoba memberi “pejalaran sejarah kritis” tentang bagaimana sebenarnya orde baru dibangun. Film ini menang di Jakarta Internasional Film Festival untuk katagori tehnik wawancara terbaik.

Film Mass grave/Kuburan Massal (th 2002) garapan Lexy Junior Rambadetta yang rajin diputar diberbagai festival merupakan film kritis yang menyuarakan korban 65. Sebelum Soeharto tumbang, wacana kritis sejarah 65 atau sejarah terbangunya orde baru hanya bisa dinikmati di buku-buku tebal hasil analisa asing atau pamflet sembunyi-sembunyi. Selanjutnya Lexy banyak memproduksi film-film “advokasi” antara lain 20 billion dollars(th 2002) tentang sindikat perdagangan manusia/buruh migran, kemudian film berjudul Batas Panggung (2004) tentang orang-orang hilang yang diculik oleh orde baru.

Gadis Arivia, aktivis perempuan yang juga dosen filsafat UI adalah salah satu pioner di bidang perempuan dan media. Gadis, melalui Yayasan Jurnal Perempuan menerbitkan jurnal perempuan feminis, program radio hingga merambah ke dokumenter film. Dua film yang sudah diputar di berbagai tempat dan festival adalah Perempuan di Wilayah Konflik (2002) dan Perdangan Perempuan dan Anak(2003). Film-film ini selain diputar untuk komsumsi film festival atau penikmat film, Gadis melakukan pemuataran di ruang-ruang diskusi, seminar tentang perempuan dan anak.

Kemudian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) membuat film berjudul Air Mata Ibu (Indonesia 2004, sutradara Tonny Srimarsanto) mengangkat tema seputar program KB (Keluarga Berencana) di Indonesia. Lebih dari 30 tahun program Keluarga Berencana (KB) DAN Kesehatan Ibu dan Anak dilaksanakan secara nasional. Untuk mendukung suksesnya program ini, pemerintah melibatkan tokoh masyarakat, aparat pemerintah dan militer. Program tersebut memang sukses luar biasa. Dibalik kisah sukses program tersebut, sesungguhnya menyimpan air mata. Film ini mengungkap sisi gelap dari suksesnya program KB dan Kesehatan Ibu dan Anak di Nusa Tenggara Timur.

Di Jogyakarta telah muncul satu kelompok yang menamakan diri Etnoreflika, mengkhususkan diri pada visul ethnography. Mereka mempunyai cara sendiri dalam pembuatan film dokumenter. Para penggiat film di kelompok ini melibatkan si subyek yang direkam dalam proses pembuatannya. Si subyek diajari bagaimana menggunakan kamera, bahkan sampai pada proses editing. Dalam diskusi dengan penulis bulan Juli lalu di Jogyakarta, Budi Satriawan, salah satu penggiat Entoreflika menyatakan bahwa melibatkan si subyek ke dalam proses pembuatan dokumenternya sebagai salah satu landasan keberpihakan terhadap masalah yang direkam.

Masih banyak lagi kalangan LSM yang telah memproduksi film-film dokumenter. Di Jakarta misalnya, Urban Poor Concorcium (UPC) telah memproduksi film dokumenter tentang kaum miskin kota yang digusur oleh pemerintah daerah Jakarta, berjudul Killing the days. Lalu kelompok Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) telah memproduksi seri film dokumenter tentang kisah-kisah perjuangan perempuan tanpa suami di berbagai daerah.

Film-film dokumenter tersebut telah mewarnai khasanah perfileman Indonesia. Selain itu, kekuatan dan kelebihan film-film dokumenter ini adalah kekayaan tema, yang rata-rata sangat dekat dengan persoalan bangsa Indonesia. Meskipun masih ada kelemahan-kelemahan di segi tehnis misalnya. Tetapi geliat ini sungguh sangat menggembirakan di tengah terbatasnya tema-tema film Indonesia yang ada. Namun sayangnya, Film-film dokumenter ini masih sangat terbatas ruang putar atau edarnya. Film-film dokumenter yang sudah ratusan jumlahnya ini belum bisa muncul di siaran di televisi. Mudah-mudahan di masa mendatang, stasiun-stasiun televisi di Indonesia mulai gemar menayangkan film-film dokumenter. Jadi tidak melulu sinetron!.

Sydney, 1 November 2005

———————–

MOOLAADE

Sebuah film fiksi humanis feminis dari Afrika

Faiza Mardzoeki

Moolaade, adalah film fiksi Afrika, karya Ousmane Sembene, seorang sutradara film dari Senegal, berusian 81 tahun. Sembene ini dikenal sebagai bapak film Afrika. Namun dalam Moolaade, ia tegas bersimpati pada kaum feminist, dengan menciptakan gambar gerak indah dan pro kemerdekaan kaum perempuan. Film ini menyoal penindasan kaum perempuan yaitu penyunatan dan perusakan kelamin serta pengekangan kebebasan kaum perempuan di wilayah pedesaan muslim Afrika Barat, tepatnya di sebuah desa di negeri Afrika Burkina Faso. Meskipun secara hukum, praktek penyunatan ini sudah hampir tidak ada, namun secara tradisi di beberapa wilayah masih terjadi.

Bercerita tentang Colle (Fataumata Coulibaly), seorang istri ke-dua dari salah satu petani kaya dan sesepuh di desanya menawarkan perlindungan kepada empat gadis kecil yang telah melarikan diri dengan penuh ketakutan dari ancaman pisau tajam penyunatan. Dalam tradisi wilayah desa ini perempuan mempunyai hak menawarkan pelrlindungan buat anak yang memohonnya. Perlindungan ala tradisi ini bernama “Moolaade”. Dari sini, mulailah, perlawanan terhadap adat penyunatan yang dianggap keliru ini dan menolak tunduk kepada patriakh ulama di desa muslim ini.

Di dalam perjuangannya itu, Colle menghadapi sebuah tradisi yang sangat mengakar yang bergandengan dengan ajaran agama yang memasung kemajuan perempuan. Sembene, sang sutradara, dengan sangat baik, tidak hanya memajukan kepahlawanan si Colle ini, tetapi dengan cukup sederhana, runut dan jelas memotret kehidupan sebuah desa di Afrika secara riil. Ini adalah gaya realisme Sembene memotret sisi kehidupan desa dimana hubungan tradisi dan agama (Islam) berjalan beriringan, kadang menguatkan satu dengan yang lainnya, yang menghasilkan ketimpangan relasi perempuan dengan laki-laki, dan ulama dengan umat dan sesepuh-warga biasa. Spirit film berhasil memberi jawaban-jawaban ke-mengapaan-nya relasi timpang itu terjadi, dan berujung pada sebuah proses perubahan akibat dari jawaban-jawaban itu.

Moolaade adalah film humanis feminis yang kaya akan pembelajaran, sehingga ketika nonton Moolaade ini, kita akan memetik jawaban-jawaban kenapa penyunatan perempuan itu tidak perlu, dan kenapa perempuan perlu melawan pada saat tertentu.

Burkina Faso adalah potret negeri muslim di belahan Afrika Barat. Para lelakinya, rata-rata mempunyai istri lebih dari dua. Pemegang kekuasaan desa ini adalah sesepuh atau pemimpin agama sekaligus pemimpin desa. Para lelaki ini menduduki tempat terhormat dan para perempuannya selalu merunduk sembah apabila bertemu dengan para sesepuh ini. Sedang kekuasaan lainnya adalah para dukun sunat perempuan, yang secara tradisi sudah turun temurun.

Seluruh anak-anak gadis diwajibkan baik oleh agama maupun tradisi untuk disunat oleh para dukun ini. Para dukun menggunakan pisau-pisau tajam untuk memotong klitoris perempuan. Para gadis kecil akan lari ketakutan dan menjerit kesakitan apabila pisau tajamnya sudah menyentuh, mengiris clitorisnya. Bahkan sering juga ada yang mati akibat ‘pembedahan’ ganas ini. Dalam Moolaade, diceritakan dua orang anak lari dari desanya dan ditemukan bunuh diri (mati) daripada menderitakan penyunatan ini. Sementara empat gadis kecil, yang kemudian lari mencari perlindungan kepada si Ibu Colle. Mereka tahu bahwa tujuh tahun sebelumnya Colle, sebagai seorang ibu, juga pernah menolak anak gadisnya sendiri dipotong alat kelaminnya. Colle, tergerak melindungi ke empat gadis kecil itu, dengan menggunakan strategi kepercayaan tradisi pra-Islam, Moolaade. Sementara istri pertamnya, (the elder) tidak mau dan takut turut campur, tetapi diam-diam mendukung aksi Colle ini. Para dukun sunat dan Colle yang yang telah menyatakan perlindungan bagi ke empat gadis kecil yang sedang diburu untuk disunat itu, berhadapan, tetapi masih saling menghargai, tidak saling menyerang. Sementara kaum lelakinya mulai tidak suka dengan aksi Colle, yang dianggap melanggar agama dan tradisi. Dalam keyakinan desa muslim ini, perempuan yang tidak disunat, atau disebut Bolokorok, adalah tidak suci dan tidak boleh dikawinkan. Para lelaki akan menolak perempuan yang tidak disunat clitorisnya.

Situasi memuncak, ketika para suami, yang domotori sang sesepuh memaksa radio-radio yang bertengger di rumah untuk dibakar. Catatan menarik, bahwa radio, rupanya telah manjadi teman sepi sekaligus alat pencerahan kaum perempuan di rumah. Para perempuan di desa Burkina Faso ini selalu menyetel radio sambil kerja di rumah, mendengarkan lagu-lagu atau mendengarkan ceramah. Sementara para lelakinya kerja di luar atau mengaji di mesjid. Ketika Colle melakukan perlawanan, menolak sunat, kaum lelaki menngangap bahwa radio telah punya andil bagi para perempuan, yaitu menyebabkan perempuan menjadi berani melawan dan tahu sesuatu. Akhirnya, para lelaki itu membakar semua radio yang ada bahkan melarang menyetel TV. Meskipun pada saat itu dalam film ini yang mempunyai TV adalah satu orang, yaitu ketua desa dan sesepuh ulama, yang dibelikan oleh anak lelakinya yang baru datang dari Perancis.

Dalam film ini, anak sesepuh desa ini digambarkan sebagai lelaki yang punya watak dan pikiran berbeda dari lelaki kebanyakan di desa itu. Ia lebih modern dan lebih menghargai perempuan meskipun masih tunduk kepada adat dan ayahnya. Orang tuanya marah dan tidak menyetujui rencana kawinnya dengan anak gadis Colle, yang tidak disunat. Namun disisi lain, sebagai anak lelaki yang bekerja di luar desanya (Perancis) ia selalu dipuja, disanjung karena banyak uang dan menghidupi keluarganya. Potret situasi ini memang banyak dijumpai di desa-desa, terutama di keluarga petani miskin namun “religius”. Kebutuhan dasar ekonomi mengalahkan prinsip-prinsip religius yang diyakininya sendiri.

Menarik untuk dicatat, bahwa film ini dengan jelas berkesadaran berempati pada kaum perempuan. Ketika radio-radio itu telah dibakar, para perempuan itu mengadakan musyawarah, mengeluarkan unek-uneknya, mempertanyakan kenapa radionya dibakar. Semangat sisterhood dikalangan kaum perempuan ini dalam menghadapi kebersamaan masalah cukup menonjol. Seperti pada karakter si istri tua, yang selalu melindungi dan mendukung prinsip si Colle, sang istri ke dua. Pada saat ini poligami hampir dilakukan oleh semua lelaki yang mampu, dan kaum perempuan tidak punya pilihan, wajib tunduk pada tradisi dan agama. Sementara para tetangganya, meskipun mereka takut-takut, diam-diam mendukung Colle, yang menolak sunat.

Pengalaman sakit yang sama, karena di sunat dan kungkungan tradisi dan agama yang kuat, membuat ikatan batin kebersamaan dan membangun spirit melawan tyran patriarki kecil ini secara diam-diam.

Si Colle, yang rajin mendengarkan radio, ceramah dan punya pengalaman sakit akibat sunat, berjuang melawan maut saat melahirkan anak gadisnya dan harus melakukan operasi cecar yang menyebabkan Colle bersentuhan dengan dunia dokter, membentuk karakter sendiri, menonjol, diantara kaum perempuan lainnya. Pengalamnnya itu membangkitkan kesadaran melawan yang diam-diam didukung oleh pengalaman perempuan lainnya.

Puncaknya, ketika Colle harus dicambuk oleh suaminya atas paksaan kakak iparnya sendiri, yang didukung oleh kaum sesepuh dan ulama. Suami Colle, sambil nangis karena dalam hatinya tidak mau melakukan ini mencambuki isterinya berkali-kali untuk memaksa Colle mengatakan mantra tradisional yang akan mengakhiri perlindungan moolade. Colle yang tegas, punya prinsip, tidak mau menyerah. Situasi ini justru semakin mengikat batin kebersamaan kaum perempuan di desa itu untuk bersama melawan. Para perempuan ini akhirnya menolak tunduk kepada ajaran penyunatan perempuan. Menuntut kepada kaum ulama dan sesepuh desa dan kepada dukun sunat untuk menghentikan praktek penyunatan.

Moolaade, adalah sebuah film humanis feminis yang mengingatkan kita akan harga manusia yang tidak bisa membedakan laki-perempuan, ulama-umat, maupun sesepuh-warga. Pertemuan tradisi dan agama yang seharusnya bisa mengantarkan kemajuan umatnya, laki-laki dan perempuan, karena mereka adalah sama, MANUSIA. Inilah setidaknya pesan yang hendak disampaikan, Sembene, sang sutradara dari Senegal, seorang lelaki berumur 81 tahun yang pro perempuan. Bahwa penyunatan perempuan adalah bagian dari praktek perusakan tubuh perempuan, di mana perempuan bisa menderita berkepanjangan, tidak bisa menikmati hubungan sex secara sehat, karena luka dan rusaknya saraf dan bahaya karena bisa terjadi infeski. Untuk itu, Moolaade, bermaksud mempertegas, bahwa penyunatan tidak perlu, baik atas nama agama maupun tradisi.

Jadi, siapa bilang film tidak boleh berpolitik? Sembene, dengan sadar berpihak pada suara perempuan dan keadilan. Jadilah film ini kaya spirit, mengandung muatan humanisme yang kental. Toh, dengan gaya realisme yang berpihak, Moolaade, tetap merupakan film yang digarap secara serius dan baik. Secara alur dan cerita, film ini cukup enak dinikmati. Karakter-karakter yang ada semua punya peran yang mampu memberi motivasi dan jawaban. Sehingga semua adegan, tampak rapi, terkontrol, dan jelas tujuannya. Sementara fotografinya pun sangat indah. Seting desa Afrika, sangat berkarakter.

Tidak heran, Moolaade, telah memenangkan un certain regard atau penghargaan khusus di Cannes Fetival 2004 dan menjadi official selection di New York Film Festival 2004,Official Selection Toronto Film Festival 2004, Chicago film Festival 2004, Official selection Telluride Festival 2004 dan official selection di Mil Valley Film Festival 2004.

————————-

A film review: VERA DRAKE
Abortion as an issue in film – Is there equal morality between classes? 

Faiza Mardzoeki

Abortion is an issue, which is related to women’s decision. It’s about a problem between reality and moral issues in society. What is the women’s role in this issue? Is it true that women who perform abortions are immoral? And is it true that morality is universal for the poor, for the rich and for women and men?

Vera Drake, a housewife from working class is a portrait of woman who faced a choice between moral issue and reality in society. It is based on a true story in London, after World War II, 1950. Mike Leigh who is well known as a director who always stands for “marginal people” directs this film. Imelda Staunton acts as Vera Drake very well and she has received some awards. This film won as the best actress in Venice Film Festival 2004, the best Actress in Los Angles Critique Film Association and she received the best actress nomination in Golden Globe.

This story is about Vera Drake, a housewife who helped working class women and other women who needed help to get abortions and then she was arrested by the police and put into jail for 2 years and 6 months.

Vera Drake lived with two children, Syd and Ethel. Syd worked as a tailor’s assistant and Ethel worked at lamp factory as low worker. Her husband, Stan, loves and respects Vera very much. Stan worked as a mechanic assistant. They were a working class family in London. They lived in a very small flat on the 6th floor.

From a half an hour, we see how Vera does daily routine work happily. In the morning Vera goes to another house for cleaning work for money. And then rushes home cook for her family. Vera does house chores with happiness and She believes that work is a moral obligation. She is also a very helpful person. When she comes home from her work, she always comes and sees her mother who is very old and needs help. She always offers a cup of tea to other people when they look unhappy.

Vera Drake is an example of a typical woman, a housewife from working class people in London 1950. Every woman has to go out to work because of poverty. But Vera is special. She believes that with work, life can go on and bring her family some simple peace. She is very tough and she has the power of her femineity in her life.

The story flows into Vera doing “the secret work”. She helps working class women and other women who want to abort their pregnancy. She believes that she has to help those women. She does abortions with traditional way and very simple.

In other way, Lily Clark, Vera’s old friend who always helps organise Vera’s clients, takes money for those women for 2 pounds without Vera knowing.

This film is not verbally explained why those women do abortion and why they are pregnant. Almost all the scenes are describing visually that women are poor, not ready, or afraid. Because of these, Vera decides that she has to help. Even though she has to do abortions in the back street and with risk. During that time abortion was illegal and criminal.

I think, Mike Leigh does not want to make an issue of what and why that women do not want to get pregnant. That’s Vera attitude. Leigh is only focusing on women’s authority over their body. The message is: Women have rights to make decision on their body.

Furthermore, the setting of visual portrait of social structure is vivid. The women had to go out, rush for work as factory workers or cleaning services, such as Vera. The lived in a very small flat, poor and it was impossible to share with more than one baby. There was no contraception to prevent unwanted pregnancy.

By contrast, a woman from a middle class family, Susan, found herself pregnant because of date rape. Her boyfriend raped her. Then she went to her aunt to ask her how to solve the unwilling pregnancy. Her aunt suggests Susan to go to a professional psychiatrist who is able to give a statement that a woman can be aborted. But she has to pay 100 pounds. This amount is impossible for working class women during that time.

This is obviously an example of double standard attitude in society that moral value and law is not equal. Morality is depending on who says it. A poor woman who performs abortion is criminal; it’s illegal with the jail sentence. But a woman who can afford a doctor and a psychiatrist can get an abortion safely and easily.

This situation is clear that oppression against woman is not only come from gender factor but economic factor is very determining.

Women who helped by Vera, and Vera herself are more vulnerable, because of poverty. Finally, Vera arrested by the police accused of crime, while the psychiatrist is safe. Until 1967, abortion in London is illegal.

Apart from economic factor and class in term of put women’s issue (abortion), this film is “ pro voices of woman”. This film put the women as a subject as decision maker on women’s body. (13 Feb 2005)

—————————————

Thursday, November 24, 2005

Pride and Prejudice sebuah film dari novel Jane Austen

Roman cinta “Cinderella kompleks” abad 19 yang tak lekang ditelan zaman

Faiza Mardzoeki

Novel karya-karya Jane Austen adalah karya klasik yang berulang kali diadaptasi ke dalam film dan mempunyai penggemar fanatik hingga sekarang. Salah satu karya yang paling sering diadaptasi adalah novelnya yang berjudul Pride and Prejudice. Kisah ini menukik persoalan “klasik” perempuan, yaitu masalah keuangan keluarga, perkawinan dan hak-hak perempuan. Untuk memberi warna segar cerita ini dibalut dengan kisah soal asmara.

Sekilas mengenal Jane Austen
Jane Austen adalah pengarang perempuan asal Inggris yang sampai sekarang nama dan karya-karyanya masih terus memasuki ruang-ruang baca, dan gedung-gedung biskop, film. Ia lahir di sebuah kota Inggris di Steventon, Hamsphire, Inggris pada 1775 dan meninggal tahun 1817. Jane lahir sebagai anak ke tujuh dari delapan bersaudara. Ayahnya, George Austen, seorang pendeta desa yang berpenghasilan cukup baik pada jamannya, yaitu sekitar 600 pound per tahun. Namun, meskipun berpenghasilan cukup baik pada jaman itu, dengan mempunyai anak sebanyak delapan, uang itu tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga Austen sebagai kelaurga kelas menengah. Ayahnyapun menjadi mencari uang tambahan dengan menjadi tutor murid-murid orang kaya.

Tahun-tahun di mana Jane Austen lahir dan tumbuh, masalah ekonomi (keuangan) dan perkawinan merupakan masalah yang cukup menonjol di masyarakat Inggris. Pada abad 18 dan 19 ini, borjouasi Inggris mulai bangkit. Ini adalah jaman “peralihan” dari jaman feodal ke jaman borjuasi. Pada jaman peralihan ini banyak hal terjadi di masyarakat. Struktur sosial pelan-pelan menggeliat, berubah. Salah satunya adalah perubahan yang berdampak pada persoalan-persoalan perempuan (kelas menengah).

Sebagian kaum borjuasi yang bekerja keras langsung memimpin usahanya, memulai memberikan kesempatan kepada anak-anak perempuannya untuk membaca buku, belajar musik atau melukis. Para perempuan mulai memasuki babak baru. Para perempuan mulai mengenal dunia ide dan dunia lain dari luar dirinya. Namun kesempatan perempuan ini baru sebatas diperbolehkan pada “dunia buku atau seni”. Persoalan-persoalan lain, seperti hak waris, kaum perempuan masih gigit jari. Hak waris hanya jatuh ke tangan laki-laki. Di samping itu kaum perempuan kelas menengah ini tidak diperbolehkan bekerja, kecuali membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga atau “belajar dirumah”. Kelanjutan hidup perempuan haruslah dilanjutkan ke perkawinan dengan laki-laki yang mempunyai property agar hidupnya bisa berlangsung dengan baik dan terhormat.

Masalah-masalah perkawinan, keuangan dan ekonomi keluarga inilah yang banyak melatari cerita-cerita dalam novel yang ditulis Jane. Karya-karya Jane yang cukup terkenal antara lain Emma, Persuasion, Sense and Sensibility dan Pride and Prjejudice. Karya-karya Jane nyaris semua sempat difilmkan. Akan tetapi yang paling popular dan paling sering difilmkan adalah novelnya yang berjudul Pride and Prejudice.

Pride and Prejudice-Kisah Cinta “Cinderella Kompleks” yang masih laku

Novel karya Jane berjudul Pride and Prejudice pertama kali diterbitkan pada tahun 1813. Novel ini memotret kehidupan masyarakat desa di Inggris dengan latar kehidupan seorang keluarga petani menengah pemilik peternakan dan juga kehidupan keluarga keturunan ningrat yang kaya raya. Novel yang aslinya ditulis pada tahun 1796-1797 berjudul First Impressions ini bercerita tentang lima perempuan bersaudara yaitu Jane, Elizabeth, Mary, Kitty and Lydia Bennet – di Georgian Inggris. Kehidupan mereka mulai bergejolak saat hadir pemuda pemilik tanah luas yang sangat kaya, Mr. Bingley, dan sahabatnya, Mr. Darcy, seorang pemuda tampan, keturunan bangsawan dan kaya raya yang hadir di sebuah pesta di desanya.
Mr Bennet, ayah lima perempuan bersaudara itu adalah seorang ayah yang mulai maju, membebaskan anak-anak perempuannya memilih jodohnya. Sedangkan istrinya selalu kuatir dengan masa depan anak-anaknya yang semua perempuan dan selalu berharap “sang pangeran kaya” datang meminangnya.

Cerita bisa ditebak, kehadiran dua pemuda kaya raya itu telah mencuri gadis-gadis Bennet, terutama si Jane, anak sulung yang pemalu dan Elizabeth, anak nomor dua yang cerdas, pemberani dan pintar. Si Jane berhasil menaklukan si pemuda kaya raya, Bingly dan si Elizabeth sukses mencuri hati si bangsawan tampan nan kaya, Darcy.

Sebenarnya secara plot cerita, kisah ini sangat mudah ditebak. Tidak ada twist, kejutan yang berarti. Namun kekuatan cerita Pride and Prejudice adalah tepatnya dialog-dialog yang mampu menggambarkan suasana dan jaman. Kadang terkesan lucu dan menyenangkan. Jaman di mana masalah perkawinan menjadi impian para gadis dan memendam cita-cita bertemu “pangeran kaya dan tampan”. Masa di mana para perempuan tidak bisa tidak harus kawin karena dengan perkawinan itulah perempuan bisa melangsungkan kehidupannya dengan baik. Karena perempuan pada waktu itu tidak boleh bekerja, tidak pula berhak memiliki property atau warisan.

Cerita Pride and Prejudice, adalah kisah serius yang segar dan temanyapun sangat relevan dengan isu-isu sekarang. Masalah perempuan, perkawinan, kisah asmara, impian gadis merupakan masalah-masalah yang hidup hingga sekarang. Yang patut dicatat dalam karakter-karakter yang dibagun Jane adalah munculnya sosok perempuan yang rebelius dan pintar. Pada jamannya, seorang perempuan menolak dijodohkan, berani berdebat adalah hal yang cukup maju. Dalam Pride and Prejudice, karakter ini sangat pas di sosok Elizabeth Bennet. Elizabeth menolak dijodohkan dengan keponakannya oleh ibunya demi menyelamatkan warisan. Tetapi Elizabeth menolak, karena tidak cinta. Elizabeth justru mendapatkan lelaki yang lebih kaya raya dan tampan, Darcy, dengan cintanya yang menggelora!. “Perempuan mulai memilih jodohnya sendiri yang baik!“ Inilah impian para gadis, para perempuan: Mendapatkan suami yang mapan, kaya kalau perlu tampan juga. Dengan jodoh seperti lelaki model Darcy, hidupnya akan aman dan terhormat. Inilah protret “cinderlla kompleks” yang masih menghuni di sebagian para perempuan di masyarakat.

Namun, seandainya Jane Austen masih hidup sekarang, pastilah sosok Elizabeth akan dikembangkan dan maju. Elizabeth tidak saja sekedar gemar membaca, tetapi akan berkarir dan tidak terlalu membutuhkan Darcy! Atau barangkali masih perlu Darcy, tetapi tidak ada alasan keuangan, karena tidak mau bergantung. Darcy adalah cintanya. Titik. Mengingat Jane adalah seorang perempuan yang cukup pintar dan maju.

Pride and Prejudice dalam film

Novel ini pertama kali diadaptasi ke dalam media film pada tahun 1938 oleh Michael Barry untuk film televisi berdurasi 55 menit, masih hitam putih. Lalu pada tahun 1940 dibuat lagi ke dalam film oleh Robert Z. Leonard. Lalu berturut-turut pada tahun-tahun berikutnya dibuat kembali ke dalam film Televisi yaitu pada tahun 1952, 1958, 1967, 1980, 1995. Selanjutnya tahun 2003 diangkat ke layar lebar oleh Andrew Black. Sedangkan pada tahun 2004, dengan versi Bollywood musik dikerjakan oleh Gurinder Chada. Akhir tahun 2005 ini Pride and Prejudice kembali dibesut ke layar lebar oleh Joe Wrights.

Di film garapan sutradara juga yang pernah menyutradarai film Notting Hill ini unsur cinta dan “cinderella kompleks” masih kuat dan terkesan modern. Latar Inggris abad 19 yang indah, natural dan tata artistik berbau sejarah, masih mampu memukau penonton dengan dialog-dialognya yang segar dan cerdas. Meskipun seperti yang sudah diulas di atas bahwa film ini sangat gampang ditebak ceritanya, apalagi bagi pembaca novel-novel Jane Austen. Namun tema cerita ini masih sangat digemari. Sosok Darcy si pemuda kaya raya nan tampan dan karakter perempuan cantik Elizabeth Bennet yang pemberani, keras kepala namun sayang saudara-saudaranya, menjadi kekuatan tersendiri. Selain itu, film ini apabila masuk dalam bingkai kisah-kisah popular masa kini pun masih sangat relevan dan akan terasa “cewek banget”. Namun yang menjadi penyegaran tersendiri kisah-kisah Jane Austen ini adalah proaktivnya para subyek tokoh-tokoh perempuan ini. Inilah mengapa cerita Pride and Prejudice menjadi kisah yang tak lekang dimakan jaman. Film produksi Inggris yang dibintangi antara lain oleh Keira Knightly (Elizabeth Bennet) dan Mathew Macfadyen (Darcy) telah menjadi official selection di Toronto Film Festival 2005.

(Ashfield, Sydney, 8 November 2005, faiza_mardzoeki@bigpond.com)

——————–

The Motorcycle Diaries
Sebuah Perjalanan menuju Revolusi
Oleh: Faiza Mardzoeki

“If you tremble with indignation at every injustice, then you are comrade of mine”
(Ernesto “Che” Guevara)

Itulah kalimat Ernesto Guevara atau lebih dikenal dengan sebutan “Che” Guevara yang gemanya masih terasa hingga sekarang terutama dikalangan kaum muda yang menyebut diri “kaum muda revolusioner”. Che adalah ikon kaum muda, Che adalah symbol perlawanan kaum muda. Che adalah poster, topi, pin dan kaos yang masih bergelantungan di pojok-pojok trotoar Malioboro, Jogyakarta, venezuela, hingga Cuba.

Di penguhujung tahun 2004, sebuah film yang mengangkat bagian kisah hidup Ernesto Guevara ini bertengger di cinema alternativ DENDY, sebuah bioskop yang rajin memutar film-film non Hollywood. Terletak di suburb paling dekat pusat kota Sydney, Newton. Suburb ini dikenal sebagai kawasan “alternativ” tempat kalangan muda profesional, aktivis, seniman mupun para mahasiswa mangkal. Hampir 2 lebih bulan film ini diputar dan masih terus dikunjungi oleh “penggemar” Che. Film inipun telah mendapat pujian dimana-mana bahkan para kritikus dan pengamat film memberi bintang sebanyak 5!

Film dengan atmosfir fotografi sangat indah berjudul “ Diaros Motocicleta” atau The Motorcycle Diaries, karya sutradara Brazil, Walter Salles (dikenal dengan karyanya berjudul Central Station), mengangkat sepotong peristiwa kisah hidup Che ketika masih mahasiswa. Che pada saat itu adalah mahasiswa kedoketeran, berumur 23 tahun (diperankan sangat baik oleh Gael Gracia Bernal), seorang anak muda yang punya mimpi, naïve, senang berputualang, suka sepak bola, ganteng dan punya pacar dari kelas menengah kaya, cantik bernama Chinchia (diperankan oleh Mia Mestro).

Untuk merayakan ulang tahun sahabatnya yang ke 30, Alberto Granado, (diperankan oleh Rodigro de la Serna), bersama Che melakukan traveling panjang dengan menggunakan sepeda motor, Norton 500 cc. Mereka berangkat dari rumahnya pada tanggal 4 Janauri 1952. Tujuannya satu: Have Fun!

Namun perjalanan yang ditempuh tidak mudah. Semua berbalik. Perjalan itu merubah semua mimpi hidup Guevara Ernesto muda di kemudian hari. Apa yang dijumpai di jalanan bukanlah kesenangan, tetapi sebuah dunia muram, miskin dan sulit. Che yang muda nan naïve namun peka terhadap sekitar menjadi bertanya-tanya tentang dunia. Sementara sahabatnya, Alberto, yang kocak dan merupakan sahabat sejati selalu mengajak bercanda, memaki, dan mengeluarkan adegan-adegan kocak, meski dalam situasi sulit dan muram. Disinalah perjalanan petualanganya menjadi hidup dan mengharukan. Alberto yang diperankan oleh Rodigro ini juga bermain sangat gemilang. Karakternya begitu pas dilihat. Seluruh wataknya tercermin dari tingkah polahnya sepanjang perjalanan.

Dalam perjalanan sepeda motor tuanya mengeluarkan asap dan slang olinya bocor. Berkali-kali motornya jatuh melewati jalanan yang sulit. Mereka harus camping di tengah-tengah angin yang sangat kencang, salju yang dingin dan mereka harus memanjat gunung Andes dan menyeberang Chili.

Perjalanan dilanjutkan ke Peru. Ditengah-tengah perjalanan mereka berdua bertemu dengan dua orang laki dan perempuan yang kedinginan, kecapaian dan berjalan jauh melintasi desa-desa terjal. Mereka adalah dua orang miskin yang melakukan perjalanan panjang untuk mencari pekerjaan di luar desanya. Che dan Aberto beristirahat sejenak dan bercakap dengan dua orang itu. Che merasa ada yang berbeda dari hidupnya. Ia dan Alberto melakukan perjalanan untuk perlajalan itu sendiri. Travel for travel. Untuk kesenangan. Sementara ia dihadapkan dua orang yang kecapaian berjalan jauh demi untuk bertahan hidup.

Dari sini Che mulai dihadapkan pada realitas hidup yang lain. Sepanjang perjalanan Che dan Alberto bertemu dengan orang-orang miskin. Para pekerja tambang yang kehausan, petani tak bertanah. Penduduk yang tidak punya rumah di atas tanahnya sendiri.

Dijalanan, Che yang calon dokter itu sering menjumpai orang-orang miskin yang sakit dan tidak punya obat. Dengan pengetahuan seminimnya, ia berusaha menolong. Perjalanan sampai ke San Pablo. Di tengah perjalanan dengan menaiki kapal sedang, melintasi laut. Di tengah-tengah laut, ia menemukan sebuah perahu kecil berisi tumpukan manusia. Kapal kecil itu sarat dengan orang-orang miskin yang tidak mampu membeli tiket yang berfasilitas. Pikiran dan hatinya terus bekerja. Che muda dihadapkan pada kontradiksi-kontradiksi yang membuatnya berpikir tentang dunia, jauh dari jangkauan Che sebelumnya. Ia dengan rajin sepanjang perjalannya menulis apa yang dilihat di catatan hariannya. Tak lupa ia selalu menulis surat kepada ibundanya tercinta.

Di San Pablo ini, Che dan Alberto berhenti di perkampungan masyarakat yang terkena penyakit kusta. Dengan dokter dan para suster, Che dan Alberto tanpa sungkan berbaur denagn mereka. Membantu mengobati, memberi semangat, bermain sepak bola, berdansa dan bercanda. Che muda tanpa sungkan memeluk mereka. Dorongan kemanusiaan yang tinggi, kepekaan terhadap “perbedaan” yang telanjang ia lihat, membuat Che dengan mudah berbaur dengan mereka yang sakit ini.

Dari San Pablo, mereka terus menuju Venezuela. Albarto sahabatnya itu menghentikan petualangannya dan mulai bekerja di Venezuela. Dalam adegan ini terlihat bagaimana Che yang telah “menjadi manusia yang berbeda dari kemarin” . Alberto berkata “Jangan lupa kau bisa bekerja di sini nanti kalau kau sudah tamat dengan doktermu itu. Hei…kau akan meneruskan sampai selesai khan?”

“Entahlah saya tidak tahu. Saya tidak tahu. Begitu banyak ketidak adilan yang saya lihat. Saya tidak tahu. Yang saya tahu bahwa saya merasa, saya telah berbeda dari yang kemarin”. Begitulah Che menjawab

Adegan itu mengakhiri filmnya. Sang sahabat, Alberto menatapi pesawat yang membawa Che. Kamera beregrak ke Alberto tua yang masih hidup hingga sekarang sedang berdiri mengenang sahabatnya, Che Guevara yang telah memilih jalannya. Di kemudian haru jalan revolusi itulah yang dipilih Che.

Dalam sejarah yang tercatat, Ernesto Guevara kemudian melakukan perjalanan bergabung dengan para gerliyawan Cuba melawan rezim Batistuta hingga kemenangan revolusi Cuba. Setelah kemenangan Revolusi Cuba ini, Che pernah menjabat sebagai menteri keuangan.

Namun panggilan untuk terus berjuang dijalan gerilya terus menarik hatinya. Hingga ia berangkat lagi untuk bergerilya di Bolivia. Di Bolivia inilah Che ditemukan mati, dibunuh dengan bantuan CIA.

Film ini sangat kuat menggambarkan tema kemanusiaan. Melalui catatan seorang Che, kita diajak mengenali berbagai kontradiksi-kontradiksi di tengah masyarakat kita. Yang cukup mengasyikan dan mengharukan, adegan ditengah-tengah persoalan kemiskinan, penderitaan dan kesulitan hidup yang hendak disampaikan selama perjalanan Che dan Aleberto ini, si Walter sang sutradara dengan cerdas membuat gambar-gambar pengadeganan dan dialog yang cukup sederhana tapi kuat.

Banyak kelucuan dan dengan bahasanya yang jujur, halus dan tanpa jargon film ini mampu mengangkat jiwa kita yang kadang terbius dengan razzle dazzle Hollywood maupun gemerlap kata-kata megah penuh jargon dan tanpa pendalaman. Dengan kesederhanaan kata, keindahan gambar-gambar di film ini, rasa kemanusiaan kita diuji pendalamnnya. Ada pesan yang dalam bahwa “hidup itu bergerak dan berubah, bahkan kita diberi kesempat untuk merubah dunia itu”.

Artikel ini dimuat di www.layarperak.com